Logika Dibalik Pembukuan Berpasangan
Menurut Hery
SE, MSi, dalam bukunya Teori Akuntansi, Prenada Media 2009, terdapat
beberapa konsep teori yang dipakai dalam perumusan prinsip dasar akuntasi,
yaitu : Proprietory Theory, Entity Theory, Residual Equity Theory, Investor
Theory, Fund Theory, Enterprise Theory, dan Commander Theory.
Salah satu
teori di atas, yaitu Entity Theory menyebutkan bahwa entitas (perusahaan)
merupakan badan yang terpisah dan harus dibedakan dari pemilik. Yang menjadi
pusat perhatian dari pencatatan akuntansi dan penyajian laporan keuangan adalah
entitas, bukan pemilik. Entitas dianggap memiliki kekayaan, dan juga kewajiban
kepada kreditor maupun pemegang saham. Menurut konsep teori ini, persamaan
akuntansi dirumuskan sebagai berikut:
Aktiva = Ekuitas
Aktiva merupakan hak milik
perusahaan (entitas), sedangkan ekuitas merupakan sumber aktiva yang berasal dari
kreditor dan pemegang saham. Jadi, entitas memiliki kewajiban kepada kreditor
dan pemegang saham. Kreditor dan pemegang saham merupakan pemilik perusahaan,
di mana entitas berutang.
Namun, menarik utuk mencermati
metode A. Henriques dan Benny K, Arifien dalam bukunya Sistem Pengolahan
Informasi Keuangan Organisasi Nirlaba, HIVOS dan Yayasan Satu Nama 2007
dalam memaparkan logika dibalik penjurnalan berpasangan dalam proses akuntansi.
Untuk memahami logika dibalik metode
pembukuan perpasangan itu, mereka memaparkan sebuah kasus sederhana sebagai
berikut :
Para pendiri Yayasan Bina Tani
Mandiri (YBTM) menyetor “Modal” sebesar Rp. 500.000.000 sebagai kekayaan awal,
melalui Bank BRI. Pertanyaan yang timbul adalah “apakah Rp. 500.000.000 itu?”
Orang dapat mengatakan bahwa:
- Rp. 500.000.000 itu adalah uang YBTM di bank;
- Rp. 500.000.000 itu adalah saldo rekening bank YBTM di Bank BRI;
- Rp. 500.000.000 itu adalah tagihan YBTM pada Bank BRI;
- Rp. 500.000.000 itu adalah modal [kekayaan] awal YBTM;
- Rp. 500.000.000 itu adalah harta/kekayaan YBTM;
- Rp. 500.000.000 itu adalah utang YBTM kepada para pendirinya;
- Rp. 500.000.000 itu adalah kewajiban keuangan YBTM kepada para pendirinya;
- Rp. 500.000.000 itu adalah modal yang dipinjam oleh YBTM dari para pendirinya;
Dan seterusnya.
Jadi, apakah YBTN menerima uang
sebesar 8 kali @ Rp. 500.000.000 atau Rp. 4.000.000.000? Tentu saja, tidak.
Kalau begitu apa yang sebenarnya
terjadi?
Tak lain dan tak bukan adalah
penggunaan istilah yang berbeda-beda untuk satu “benda” yang sama, yaitu Rp.
500.000.000, karena “benda” yang ada hanya Rp. 500.000.000, tidak lebih dari
itu.
Yang berbeda-beda adalah
istilah-istilah yang digunakan. Apakah dengan menggunakan berbagai istilah yang
berbeda-beda itu, “benda” tersebut berubah jumlahnya, sehingga uang yang
dimiliki oleh YBTM bertambah, sebanyak istilah tersebut? Tentu saja tidak,
karena “benda” yang ada, itu-itu juga; yang berbeda hanyalah istilah yang
digunakan untuk “benda” yang sama itu.
Di satu pihak, Rp 500.000.000 itu
dilihat dari sudut pandang dari mana uang itu berasal (sumber dana),
sehingga mereka menyebutkan sebagai “modal yang dipinjam oleh YBTM dari para
pendirinya”, “utang YBTM kepada para pendirinya”, “kewajiban keuangan YBTM
kepada para pendirinya”, “modal (kekayaan) awal YBTM”.
Sementara yang lain memandang benda
itu dari sudut pandang di mana, dalam bentuk apa dan untuk apa
uang itu digunakan, sehingga menyebutkan sebagai “uang YBTM di bank”, “saldo
rekening bank YBTM di Bank BRI”, “tagihan YBTM pada Bank BRI” atau
“harta/kekayaan YBTM”.
Jadi, sekali lagi A. Henriques dan
Benny K, Arifien menekankan bahwa sesungguhnya Rp. 500.000.000 adalah “benda”
yang sama, namun istilah yang digunakan berbeda-beda, di liat dari sudut
pandang yang berbeda-beda.
Jika kita ikuti penjelasan diatas
ini, Rp. 500.000.000 atau “benda sama itu, dapat kita sajikan pada dua sisi
dengan istilah yang berbeda-beda, seperti terlihat dibawah ini:
PENGGUNAAN DANA
|
SUMBER DANA
|
HARTA
|
MODAL
|
Kekayaan
|
Kewajiban Keuangan kepada Pendiri
|
Tagihan YBTM ke Bank
|
Pinjaman YBTM dari Pendiri
|
Uang YBTM di Bank
|
Utang YBTM kepada Pendiri
|
Rp. 500.000.000
|
Rp. 500.000.000
|
Menurut mereka, kedua sisi itu seakan-akan menyerupai dua gantungan pada satu timbangan yang seimbang.
Kedua sisi diatas ini selalu
seimbang dan tidak pernah tidak akan seimbang, karena apa yang ada pada kedua
sisi itu bukan benda yang berbeda. Dua sisi yang selalu seimbang ini disebut
oleh Luca Pocioli, Bapak Sistem Pembukuan Berpasangan, “Ia bilancia”, atau
Neraca.
Nah, yang juga cukup menarik adalah
bagaimana cara A. Henriques dan Benny K, Arifien membangun logika atas Aktiva
dan Pasiva sebagai berikut :
Jika kita amati kedua sisi Neraca
itu, seperti tabel di atas, sisi kanan Neraca memperlihatkan, dari mana atau
dari siapa organisasi yang bersangkutan memperoleh dana (SUMBER DANA);
sedangkan, sisi kiri Neraca memperlihatkan, untuk apa dana itu digunakan
(PENGGUNAAN DANA).
Sisi kanan Neraca memperlihatkan
hasil kerja organisasi mencari dana dari para pemilik atau penyandang dana;
Dalam kasus ini, YBTM seakan-akan menunggu keputusan pemilik atau penyumbang
dana; ia cenderung “pasif”. Oleh karena itulah maka sisi kanan atau sisi sumber
dana ini disebut sisi PASIVA.
Sisi kiri Neraca memperlihatkan
kemampuan organisasi mengelola dana yang telah diperoleh dari para pemilik atau
penyandang dana untuk berbagai kegunaan; dalam kasus ini ia kelihatan “aktif”.
Oleh karena itulah maka sisi kiri atau sisi penggunaan dana ini disebut sisi
AKTIVA.
Jika dikatakan bahwa Neraca selalu
seimbang dan Neraca terdiri dari sisi kiri yang disebut Aktiva dan sisi kanan
yang disebut Pasiva, kita dapat mengatakan bahwa AKTIVA = PASIVA, seperti
terlihat pada gambar di bawah ini.
NERACA
|
|
AKTIVA
|
PASIVA
|
Penggunaan Dana
|
Sumber Dana
|
Harta
|
Modal
|
Kekayaan
|
Kewajiban Keuangan kepada Pendiri
|
Tagihan ke Bank
|
Pinjaman YBTM dari Pendiri
|
Uang YBTM di Bank
|
Utang YBTM kepada Pendiri
|
Rp. 500.000.000
|
Rp. 500.000.000
|
Paparan lengkap dengan metode penyajian yang cukup menarik dapat dibaca di buku Sistem Pengolahan Informasi Keuangan Organisasi Nirlaba. Saya berharap paling tidak artikel ini bisa membantu pemahaman teman-teman.